Senin, 06 Desember 2010

Galungan Day is Equal as Earth Day

0 komentar

Selamat Galungan "Earth Day"

Galungan is a Balinese holiday that occurs every 210 days and lasts for 10 days. Kuningan is the last day of the holiday. Galungan means "When the Dharma is winning." During this holiday the Balinese gods visit the Earth and leave on Kuningan.

Occurring once in every 210 days in the pawukon (Balinese cycle of days), Galungan marks the beginning of the most important recurring religious ceremony that is celebrated by all Balinese. During the Galungan period the deified ancestors of the family descend to their former homes. They must be suitably entertained and welcomed, and prayers and offerings must be made for them. Those families who have ancestors that have not yet been cremated, but are still buried in the village cemetery, must make offerings at the graves.

Although Galungan falls on a Wednesday, most Balinese will begin their Galungan 'holiday' the day before, where the family is seen to be busily preparing offerings and cooking for the next day. While the women of the household have been busy for days before creating beautifully woven 'banten' (offerings made from young coconut fronds), the men of our village usually wake up well before dawn to join with their neighbours to slaughter a pig unlucky enough to be chosen to help celebrate this occasion. Then the finely diced pork is mashed to a pulp with a grinding stone, and moulded onto sate sticks that have been already prepared by whittling small sticks of bamboo. Chickens may also be chosen from the collection of free-range chickens that roam around the house compound. Delicate combinations of various vegetables, herbs and spices are also prepared by the men to make up a selection of 'lawar' dishes. While much of this cooking is for use in the offerings to be made at the family temple, by mid-morning, once all the cooking is done, it is time for the first of a series of satisfying feasts from what has been prepared. While the women continue to be kept busy with the preparations of the many offerings to be made at the family temple on the day of Galungan, the men also have another job to do this day, once the cooking is finished. A long bamboo pole, or 'penjor', is made to decorate the entrance to the family compound. By late Tuesday afternoon all over Bali the visitor can see these decorative poles creating a very festive atmosphere in the street.

On Wednesday, the day of Galungan, one will find that most Balinese will try to return to their own ancestral home at some stage during the day, even if they work in another part of the island. This is a very special day for families, where offerings are made to God and to the family ancestors who have come back to rest at this time in their family temple. As well as the family temple, visits are made to the village temple with offerings as well, and to the homes of other families who may have helped the family in some way over the past six months.

The day after Galungan is a time for a holiday, visiting friends, maybe taking the opportunity to head for the mountains for a picnic. Everyone is still seen to be in their 'Sunday best' as they take to the streets to enjoy the festive spirit that Galungan brings to Bali.

The date for Galungan and other special Balinese days is shown on the Balinese Calendar.

from : Here
Read more ►

MAKNA GALUNGAN

0 komentar

MAKNA GALUNGAN :
Oleh : Made Awanita, Dep. Agama, Jakarta

Pupuh Sinom:
1. Becik malih ya kawitang,
Ne madan Dharma walinin,
Dharma marti kepatutan,
Anggon kanti jroning urip,
Yaning patute marginin,
Sinah rahavu kapangguh,
Nging yan Adharma jalanang,
Kewehe banget puponin,
Ngawe lacur,
Bulak balik manumadi.




SEKAR ALIT MAKNA DARI HARI RAYA GALUNGAN :

Pupuh Sinom:
1. Becik malih ya kawitang,
Ne madan Dharma walinin,
Dharma marti kepatutan,
Anggon kanti jroning urip,
Yaning patute marginin,
Sinah rahavu kapangguh,
Nging yan Adharma jalanang,
Kewehe banget puponin,
Ngawe lacur,
Bulak balik manumadi.

2. Reh ne madan kepatutan,
Dahat mangebekin gumi,
Becik jani jalan carca,
Kepatutan Sang Hyang Rawi,
Nyinarin jagat tan mari,
Nguripin sarwa tumuwuh,
Taler munah kancan lara,
Keto dharmaning Hyang Rawi,
Pageh puguh,
Maweh sundaring bhawana.

3. Idupe dadi manusa,
Agetang tur ya apikin,
Satmaka jan ngamunggahang,
Manuncap swargane luwih,
Mangden suwud sedih kingking,
Manjakin keranjang uwug,
Ne maobah ya setata,
Becik Hyang Atma patitis,
Ento duluh,
Anggon nunggil ring Hyang
Suksma.

(Gaguritan Dharma Prawerti, oleh Ida Pedanda Kamenuh)
Apabila kita mendengarkan orang orang yang sedang menyanyikan lagu lagu daerah atau lagu-lagu keagamaan, terutama yang bernuansa daerah Bali (macapat, kidung, wirama dan lain sebagainya), serasa mengingatkan saya pada masa-masa kecil, ketika mendengarkan orang tua saat melantunkan pupuh-pupuh geguritan, kidung, wirawa tersebut. Berangkat dari hal tersebut, kiranya tulisan ini ada baiknya didahului dengan syair-syair pupuh Sinom yang tersurat dalam Gaguritan Dharma Prawerti, yang sedikit ada hubungannya dengan pemaknaan Galungan. Tulisan ini sengaja dikemas dalam bentuk tanya jawab, untuk lebih memberikan inspirasi tentang pemaknaan Galungan.

Pertanyaan (I):
Sesungguhnya apa keterkaitan dan pada syair-syair Pupuh Sinom di atas dengan topik Makna Galungan yang akan dibahas?

Jawaban (I):
Begini, sebagaimana kita ketahui bahwa kita hidup sebagai manusia (makhluk yang utama), agar selalu berpegang kepada Dharma. Agar betul-betul Dharma ini dapat dijadikan pegangan dan landasan dalam setiap tindakan. Karena dengan Dharma, manusia akan pasti hidupnya selamat, damai dan bahagia, serta setelah meninggal ia akan mendapatkan Sorga dan bahkan bisa mencapai Moksa. Itulah sebabnya kita patut berusaha memerangi Adharma, yaitu enam musuh, terutama musuh musuh yang ada di dalam diri manusia itu sendiri yang disebut dengan Sadripu, yaitu Kama (hawa nafsu), Lobha (keserakahan), Krodha (kemarahan), Mada (kemabukan), Moha (kebingungan), dan Matsyarya (sifat dengki atau irihati), sebagai lawan dan Dharma. Karena seseorang yang dikuasai oleh Adharma, ia akan hidup sengsara dan terjerumus ke dalam neraka. Inilah sesungguhnya makna dan pada perayaan hari Galungan. Galungan adalah salah satu hari suci agama Hindu yang jatuh pada setiap hari Rabu Kliwon Wuku Dungulan, yang perayaannya diperingati sebagai hari kemenangan Dharma atas Adharma.

Pertanyaan (2):
Kalau demikian, apakah Galungan dapat dikatakan sebagai proses dan perjuangan hidup manusia yang dilakukan dalam setiap hari?

Jawaban (2):
Memang begitu. Hari Galungan yang kita rayakan setiap Rabu Kliwon wuku Dungulan itu, sesungguhnya adalah sebagai rasa cetusan kebebasan dan belenggu dan merupakan hari untuk memperingati kebenaran (dharma) terhadap ketidakbenaran (adharma), sehlngga Galungan dapat merupakan suatu perjuangan hidup, yakni peijua ngan manusia di dalam mempertahan kan hidupnya dan untuk mewujudkan cita-citanya dengan menegakkan kebenaran, baik ke dalam dirinya maupun keluar terhadap alam lingkungannya. Proses perjuangan ini terjadi secara terus-menerus dalam sepanjang masa, sejak zaman dahulu kala sampai dengan sekarang dan bahkan sampai pada masa yang akan datang. Galungan yang kita rayakan setiap 210 hari sekali (6 bulan sekali melalui perhitungan “Wuku”), sebagai peringatan kemenangan dharma melawan adharma (kebatilan) itu, secara tradisional perayaannya tersebut dilatarbelakangi oleh karena adanya penyerangan Sang Kala Tiga yang melambangkan ketidakbenaran (adharma), yang selalu ingin menundukkan dan menguasai diri manusia.

Pertanyaan (3):
Apa yang dimaksud dengan Sang Kala Tiga dan apa hubungannya dengan perayaan hari Galungan yang kita rayakan pada setiap 210 hari sekali tersebut?.


Jawaban (3) oleh Narasumber:
Adapun Sang Kala Tiga yang dimaksud adalah Sang Kala Galungan, Sang Kala Dungulan dan Sang Kala Amangkurat. Diceritakan bahwa ketiga Bhuta ini, secara bergiliran ingin menyerang manusia, yakni mulai terjadi tiga hari secara berturut-turut sebelum Galungan dirayakan. Pada hari Minggu Paing Wuku Dungulan, terjadi penyerangan oleh Sang Kala Galungan. Selanjutnya pada waktu Senin Pon Wuku Dungulan (besoknya), penyerangan dilakukan oleh Sang Kala Dungulan. Sedangkan Sang Kala Amangkurat, melaksanakan penyerangannya pada hari Selasa Wage Wuku Dungulan (sehari sebelum hari raya Galungan). Walaupun bertubi-tubi umat manusia diserang, ingin ditunduk kan dan dikuasai oleh ketiga bhuta kala itu, namun berkat keteguhan (sraddha dan bhaktinya) kepada Hyang Widhi Wasa, ternyata usaha ketiga bhuta kala tersebut gagal. Dan ini berarti kemenangan ada dipihak umat manusia, yang diwujudkan sebagai lambang dan kebenaran itu. Atas dasar kemenangan itulah, maka pada hari Rabu Kliwon Wuku Dungulan dirayakan sebagai hari kemenangan dan tegaknya kebenaran (dharma). “Satwam eva jayate”, artinya kebenaran pasti menang. Hal ini terjadi berulang-ulang setiap 210 hari sekali.

Pertanyaan (4):
Kalau demikian, sesungguhnya apa hakikat dan hikmah yang terkandung dalam perayaan Galungan tersebut?

Jawaban (4):
Sesungguhnya, Galungan adalah melukiskan betapa dan bagaimana perjuangan manusia di dunia ini untuk mempedahankan dan melanjutkan hidupnya serta jenis atau keturunannya. Perjuangan itu terjadi secara terus menerus dalam dua segi, yakni perjuangan secara mikrokosmos (buana alit) dan perjuangan secara makrokosmos (buana agung). Jika perjuangan itu kita lihat dari segi mikrokosmos (buana alit), maka perjuangan manusia itu terjadi di dalam dirinya sendiri. Di dalam diri manusia terdapat banyak musuh, yakni Sad Ripu dan berbagai nafsu rendah yang dapat menghancurkan diri manusia sendiri. Penjuangan sifat-sifat jahat dan buruk dengan sifat-sifat baik manusia, akan terjadi setiap saat dan terus-menerus dalam diri kita. Pergulatan antara ahamkara (sumber kejahatan) dengan budhi (sumber kebaikan) dalam diri kita terjadi setiap saat. Dan sesungguhnya peijuangan ini adalah satu pergulatan yang paling sulit dapat diatasi. Sebab, jika sraddha dan bhakti tidak kuat maka manusia itu akan dikuasai oleh ahamkaranya ini berarti bahwa secara keseluruhan manusia itu dikuasai oleh nafsu-nafsunya yang jahat yang disebut “ripu” itu, sehingga dapat terjerumus ke dalam penderitaan yang teramat sangat. Karena itu, ketiga Bhuta Kala yang dilukiskan dalam mithos tadi, harus dapat kita tundukkan dengan cara mewujudkan kesadaran dan bhakti kita kepada Sang Hyang Widhi Wasa dan dengan pengendalian diri yang lebih ketat. Ada pun kesadaran dan bakti serta pengendalian diri, merupakan usaha yang amat baik untuk menundukkan segala musuh (ripu) yang ada di dalam diri kita, yang berbentuk nafsu-nafsu rendah, yang dapat menjerumuskan kita ke dalam jurang kehancuran. Nafsu-nafsu yang tergolong ripu terdiri thri enam bagian atau Sad Ripu dan meliputi Krodha adalah kemarahan, Moha adalah kebingungan, Lobha adalah keserakahan, Kama adalah hawa nafsu, Mada adalah kemabukan atau kesombongan (sombong karena kepandaian, karena kecantikan, karena keturunan/ kebangsawan, karena kekayaan, karena keremajaan, karena minuman keras dan karena kemenangan), dan Matsarya adalah sifat iri hati yang dapat menimbulkan perbuatan-perbuatàn kejam, misalnya membakar hak milik orang lain meracun, memfitnah, mengamuk, memperkosa dan melakukan ilmu sihir/hitam. Sifat-sifat jahat atau rendah tersebut, harus dapat kita kendalikan dan kuasai, dengan penuh kesadaran dan bakti kita kepada Hyang Widhi Wasa serta dilengkapi dengan pelaksanaan tapa, brata, yoga dan samadhi. Dengan perjuangan itu, kita akan mampu mendharma di dalam diri kita masing-masing, setidak-tidaknya kita dapat bebas dan kekuasaan adharma yang selalu ingin menyerang dan menundukkan serta menguasai diri kita sendiri.

Pertanyaan (5):
Selanjutnya, apa makna terdalam daripada perayaan Galungan itu?

Jawaban (5):
Galungan yang kita rayakan pada setiap hari Rabu Kliwon wuku Dungulan, di samping merupakan peringatan kemenangan dharma (kebenaran) atas adharma (kebatilan), juga bahwa Galungan tersebut memperingati kita, agar kita selalu sadar dan waspada terhadap usaha Sad Ripu dan berbagai nafsu yang tergolong jahat yang digambarkan sebagai tiga Bhuta Kala tadi agar kita terhindar dan bahkan dapat sebaliknya, yakni menguasainya. Agaknya apa yang tersurat di dalam Weda, cukup memberikan isyarat kepada kita agar selalu sadar dan waspada kepada ripu-ripu yang ada di dalam diri kita itu. Hal tersebut dinyatakan sebagai berikut : Hawa nafsu dan kebencian itu, berbeda pada indriya, sebaiknya jangan sampai seorangpun berada di bawah pengaruh kedua perasaan dan jalan kehidupan” (Bh. G. III. 34). Lebih lanjut di dalam Bh. G. II. 64, dinyatakan sebagai berikut : Bagi yang punya disiplin terhadap indriyanya, bergerak diantara semua obyek panca indriyanya, tetapi tidak berpengaruh olehnya, malah menguasainya dengan Atmannya, ia menjalani kehidupân yang damai”.

Sedangkan Bh. G. V. 23, 26 menyebutkan sebagai berikut: “Ia yang mampu bertahan di dunia ini dan merasakan kebebasan dan badan yang dikungkurig oleh nafsu dan merasakan kebebasan dan badan yang dikungkung oleh nafsu dan kemarahan dan malah bisa menyelaraskan keduanya itu, ia adalah orang yang bahagia sejati. Kedamaian yang abadi bersemayam pada mereka yang tahu siapa diri mereka, dan dapat bebas dan rasa nafsu dan marah, mereka bersifat damai dan berpikiran damai”. Demikian pula di dalam Bh. G. XVII.21, dinyatakan sebagai berikut : “Pintu mereka ada tiga buah yang menyebabkan kehancuran diri, yaitu hawa nafsu, kebencian dan kelobhaan; hendaknya engkau (manusia) menghindari ketiga sifat ini”.

Dengan demikian, betapa sulitnya, bila kita menginginkan kehidupan yang damai, bahagia lahir batin di dunia fana ini dalam rakhmatnya Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa), karena itu, marilah kita bersama-sama mengusahakan dengan sekuat tenaga untuk mengalahkan segala hawa nafsu, kemarahan, kelobhaan (keserakahan), irihati, kesombongan dan kebingungan itu, sambil memupuk pikiran, perkataan dan perbuatan yang mendatangkan kebaikan bagi sesama hidup kita. Penguasaan terhadap Sad Ripu dan nafsu-nafsu yang tergolong jahat sangat penting untuk dilakukan sehingga hati kita masing-masing bisa terhindar dari segala godaan, terhindar dari keinginan-keinginan yang tidak baik terhadap sesama hidup dan lingkungan alam sekitar kita.


Pertanyaan (6):
Di samping pemaknaannya tersebut berhubungan dengan diri sendiri bagaimana dengan perjuangan hidup yang berkaitan dengan alarn dan lingkungan?

Jawaban (6):
Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa perjuangan yang kita lakukan dalam dunia makrokosmos (buana agung), kita harus selalu berusaha dan meningkatkan pemeliharaan alam lingkungan hidup agar tetap harmonis. Karena sesungguhnya, alam lingkungan itu adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dan kehidupan manusa itu. Tèntunya dalam hal ini pun kita memerlukan penguasaan dan pengendalian atas nafsu-nafsu kita. Bila orang yang dapat menaklukkan musuh sebanyak seribu orang (musuh) adalah disebut pahlawan, maka orang yang dapat menaklukkan musuh sebanyak seribu orang (musuh) adalah disebut pahlawan, maka orang yang dapat menaklukkan dirinya sendirinya pun juga disebut pahlawan. Bahkan menundukkan musuh-musuh yang ada di dalam diri sendiri (yang tergolong Sad Ripu itu), sesungguhnya tidaklah semudah menundukkan seribu musuh yang ada di dalam alam lingkungan. Maka dan itu penguasaan dan pengendalian diri sungguh amat mutlak diperlukan dalam rangka pembentukan watak dan kepribadian yang lebih serasi dengan tantangan zaman, yakni dalam rangka menumbuhkan sikap hidup yang seimbang, serasi, berkepribadian utuh, memiliki moralitas dan integritas sosial yang tinggi serta manusia yang bakti kepada Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Kuasa).®WHD No. 500 Agustus 2008.
Read more ►

Senin, 15 November 2010

Usaba Desa di telengan

0 komentar
Tanpa terasa hampir setahun lamanya warga telengan-gegelang merayakan Upacara pengusabaan di Pura Pucak sari Bukit cemeng dan Pura puseh.Sudah berjalan hampir setiap hari pengayah(warga yang melakukan persiapan sarana dan prasarana) Rame-rame datang ke pura puseh untuk mengerjakan banyak sesuatu yg sekiranya di pakai untuk upacara usaba,dengan sekian banyak warga maka prajuru/pengurus banjar menggilir jadwal ngayah.Mulai dari banjar telengan kaja,telengan tengah dan telengan kelod/kalanganyar ini rutin dilakukan setiap hari dari sebulan sebelum upacara.Rutinitas Usaba di lakukan setiap setahun sekali,biasanya jatuh pada hari Purnama Kelima.Namun kali ini merupakan usaba yang kedua jatuh pada purnama Kenem,karena ada hitungan tersendiri di lingkungan adat.
Sebelum upacara usaba di Pura luhur pucak sari Bukit cemeng di mulai,warga terlebih dahulu melakukan melasti/melis ke pantai Mimba yang jalurnya lewat desa pekraman Antiga-Pangitebel-pengalon.Semua Ida Ratu Betara yang berstana di Br.telengan dan desa pekraman gegelang katuran/di iring oleh warga kepantai untuk di sucikan pada tanggal 18 Nopember 2010.warga melakukan persiapan dari tanggal 17 Nopember 2010 sore hari jam 16:00 wita Ida Ratu Betara dari masing-masing pura/Pura keluarga sudah di stanakan di pura puseh karena esok harinya Jam 07:00 wita Ida Ratu betara kabeh sudah berangkat melasti.Jarak perjalanan di perkirakan 16 Km hingga memakan waktu perjalanan sampai jam 17 :00 wita/kurang lebih 10 jam perjalanan.
Setelah perjalanan melasti usai,untuk hari ketiganya tanggal 21 Nopember 2010 adalah merupakan Usaba di Pura Luhur pucak sari Bukit cemeng.Dimana Pura ini terletak di perbukitan pas di sebelah barat laut desa telengan dengan jarak sekitar 3,5 Km,jarak tempuh perjalanan 2 jam.dari atas perbukitan ini terlihat panorama desa yang menakjubkan,bisa melihat Labuan amuk pertamina-pelabuhan padang bay-yeh malet,sebelah barat ada sidemen-iseh-padang tunggal dan tidak kalah pentingnya bisa melihat Gunung agung terasa lebih dekat.View lautan,persawahan dan perbukitan yang membawa suasana menjadi hening penuh dengan kerlap-kerlip sinar cahaya baik dari cahaya langit dan cahaya perkampungan yang begitu asri.
Seperti biasanya Upacara pengusabaan di lakukan siang hari yang di iringi Gamelan bali,tari-tarian,pendet,rejang dewa dll...
Mulai dari siang hari para pemedek(orang yang melakukan persembahyangan) tiada putusnya,Banyak pemedek yang melalukan pemuspaan mulai dari yang sudah berkeluarga,muda-mudi,anak-anak sejagat desa pekraman gegelang,antiga dan ada juga orang dari luar yang bersujud bakti kepada beliau yang berstana di Pura luhur pucak sari bukit cemeng.Dimalam hari begitu banyak pemedek hingga harus tidur di lingkungan pura/mekemit,ada sampe bikin api unggun karena dinginya suhu udara di lingkungan pura,ada juga membawakan nyanyian megenjekan ala anak karangasem bahkan sampai tidur beralaskan selembar kain diatas rerumputan.
Berlanjut esok harinya para anak muda disibukan dengan membuat penjor untuk menghiasi jalanan dari telengan-gegelang dan juga menghiasi bale banjar untuk menyambut perayaan Usaba Di pura puseh.sehari sebelum upacara warga sudah ngayah semuanya untuk persiapan konsumsi dan upacara esok,mulai dari Potong kerbau,babi,bebek,ayam dll..
Bertepatan hari Usaba tanggal 24 Nopember 2010/Rahina budha manis Julungwangi,sasih kenem warga ngayah sesuai dengan tugasnya masing-masing,ada di bagian konsumsi,Mundut/Ngiring Ida betara,panitia,keamanan,wewantenan upacara baik yang merupakan sesajen dan juga orang yang dibidangnya seperti :Tapini,jero mangku,Ida pedanda tidak terlepas juga pengayah yang menyelesaikan rangkaian upakara dan upacara, dll...
Turut serta diadakan lomba seperti :banten pajegan,penjor,beleganjur dan juga di meriahkan berbagai tari-tarian,pesantian,topeng.berkelanjutan hingga malam hari di adakanya wayang belah pane asal bangli yang ikut memeriahkan pengusabaan saat ini.Sedangkan Ida ratu betara tetap di stanakan di pura puseh dan pemedek silih berganti untuk melakukan persembahyangan memuji beliau agar senantiasa meridoi keselamatan bagi hambanya dan jagat raya ini.
Read more ►

USABA PUSEH

0 komentar
Tanpa terasa hampir setahun lamanya warga telengan-gegelang merayakan Upacara pengusabaan di Pura Pucak sari Bukit cemeng dan Pura puseh.Sudah berjalan hampir setiap hari pengayah(warga yang melakukan persiapan sarana dan prasarana) Rame-rame datang ke pura puseh untuk mengerjakan banyak sesuatu yg sekiranya di pakai untuk upacara usaba,dengan sekian banyak warga maka prajuru/pengurus banjar menggilir jadwal ngayah.Mulai dari banjar telengan kaja,telengan tengah dan telengan kelod/kalanganyar ini rutin dilakukan setiap hari dari sebulan sebelum upacara.Rutinitas Usaba di lakukan setiap setahun sekali,biasanya jatuh pada hari Purnama Kelima.Namun kali ini merupakan usaba yang kedua jatuh pada purnama Kenem,karena ada hitungan tersendiri di lingkungan adat.
Sebelum upacara usaba di Pura luhur pucak sari Bukit cemeng di mulai,warga terlebih dahulu melakukan melasti/melis ke pantai Mimba yang jalurnya lewat desa pekraman Antiga-Pangitebel-pengalon.Semua Ida Ratu Betara yang berstana di Br.telengan dan desa pekraman gegelang katuran/di iring oleh warga kepantai untuk di sucikan pada tanggal 18 Oktober 2010.warga melakukan persiapan dari tanggal 17 Oktober 2010 sore hari jam 16:00 wita Ida Ratu Betara dari masing-masing pura/Pura keluarga sudah di stanakan di pura puseh karena esok harinya Jam 07:00 wita Ida Ratu betara kabeh sudah berangkat melasti.Jarak perjalanan di perkirakan 16 Km hingga memakan waktu perjalanan sampai jam 17 :00 wita/kurang lebih 10 jam perjalanan.
Setelah perjalanan melasti usai,untuk hari ketiganya tanggal 21 Oktober 2010 adalah merupakan Usaba di Pura Luhur pucak sari Bukit cemeng.Dimana Pura ini terletak di perbukitan pas di sebelah barat laut desa telengan dengan jarak sekitar 3,5 Km,jarak tempuh perjalanan 2 jam.dari atas perbukitan ini terlihat panorama desa yang menakjubkan,bisa melihat Labuan amuk pertamina-pelabuhan padang bay-yeh malet,sebelah barat ada sidemen-iseh-padang tunggal dan tidak kalah pentingnya bisa melihat Gunung agung terasa lebih dekat.View lautan,persawahan dan perbukitan yang membawa suasana menjadi hening penuh dengan kerlap-kerlip sinar cahaya baik dari cahaya langit dan cahaya perkampungan yang begitu asri.
Seperti biasanya Upacara pengusabaan di lakukan siang hari yang di iringi Gamelan bali,tari-tarian,pendet,rejang dewa dll...
Mulai dari siang hari para pemedek(orang yang melakukan persembahyangan) tiada putusnya,Banyak pemedek yang melalukan pemuspaan mulai dari yang sudah berkeluarga,muda-mudi,anak-anak sejagat desa pekraman gegelang,antiga dan ada juga orang dari luar yang bersujud bakti kepada beliau yang berstana di Pura luhur pucak sari bukit cemeng.Dimalam hari begitu banyak pemedek hingga harus tidur di lingkungan pura/mekemit,ada sampe bikin api unggun karena dinginya suhu udara di lingkungan pura,ada juga membawakan nyanyian megenjekan ala anak karangasem bahkan sampai tidur beralaskan selembar kain diatas rerumputan.
Berlanjut esok harinya para anak muda disibukan dengan membuat penjor untuk menghiasi jalanan dari telengan-gegelang dan juga menghiasi bale banjar untuk menyambut perayaan Usaba Di pura puseh.sehari sebelum upacara warga sudah ngayah semuanya untuk persiapan konsumsi dan upacara esok,mulai dari Potong kerbau,babi,bebek,ayam dll..
Bertepatan hari Usaba warga ngayah sesuai dengan tugasnya masing-masing,ada di bagian konsumsi,Mundut/Ngiring Ida betara,panitia,keamanan,wewantenan upacara baik yang merukan sesajen dan juga orang yang dibidangnya seperti :Tapini,jero mangku,Ida pedanda tidak terlepas juga pengayah yang menyelesaikan rangkaian upakara dan upacara, dll...
Turut serta diadakan lomba seperti :banten pajegan,penjor,beleganjur dan juga di meriahkan berbagai tari-tarian,pesantian,topeng.berkelanjutan hingga malam hari di adakanya wayang belah pane asal bangli yang ikut memeriahkan pengusabaan saat ini.Sedangkan Ida ratu betara tetap di stanakan di pura puseh dan pemedek silih berganti untuk melakukan persembahyangan memuji beliau agar senantiasa meridoi keselamatan bagi hambanya dan jagat raya ini.
Read more ►

Minggu, 07 November 2010

Kamis, 21 Oktober 2010

UPACARA TIGA BULANAN DAN OTONAN

0 komentar

Om Swastyastu,

Tujuan UPACARA TIGA BULANAN Yang mungkin perlu dijelaskan lebih lengkap adalah urutan upacara dan symbol (niyasa) yang digunakan.

Urutan upacara :
1) ayah dan ibu bayi mebeakala dengan tujuan menghilangkan cuntaka karena melahirkan.
2) Nyama bajang dan kandapat "diundang" untuk dihaturi sesajen sebagai ucapan terima kasih karena telah merawat bayi sejak dalam kandungan sampai lahir dengan selamat. Tattwa yang sebenarnya adalah syukuran kehadapan Hyang Widhi atas kelahiran bayi.
3) Si Bayi natab banten bajang colong artinya menerima lungsuran (prasadam) dari "kakaknya" yaitu kandapat (plasenta : ari-ari, getih, lamas, yeh-nyom)
4) si Bayi "mepetik" (potong rambut, terus digundul, menghilangkan rambut "kotor" yang dibawa sejak lahir).
5) Si Bayi "mapag rare" (disambut kelahirannya) di Sanggah pamerajan, memberi nama, dan menginjakkan kaki pertama kali di tanah didepan Kemulan.
6) Si Bayi menerima lungsuran (prasadam) Hyang Kumara yaitu manifestasi Hyang Widhi yang menjaga bayi.
7) Si Bayi "mejaya-jaya" dari Sulinggih, yaitu disucikan oleh Pendeta.

Symbol (niyasa) yang digunakan dalam upacara Tiga Bulanan : Regek yaitu anyaman 108 helai daun kelapa gading berbentuk manusia, sebagai symbol Nyama Bajang; Papah yaitu pangkal batang daun kelapa gading sebagai symbol ari-ari, Pusuh yaitu jantung pisang sebagai symbol getih (darah), Batu sebagai symbol yeh-nyom, Blego sebagai symbol lamas, ayam sebagai symbol atma, sebuah periuk tanah yang pecah sebagai symbol kandungan yang sudah melahirkan bayi, lesung batu sebagai symbol kekuatan Wisnu, pane symbol Windu (Hyang Widhi), air dalam pane symbol akasa, tangga dari tebu kuning sepanjang satu hasta diberi palit (anak tangga) tiga buah dari kayu dapdap symbol Smara-Ratih (Hyang Widhi yang memberi panugrahan kepada suami-istri).

Upacara otonan lebih sederhana dari tiga bulanan, karena tujuannya mengucapkan syukur kepada Hyang Widhi atas karunia berupa panjang umur, serta mohon keselamatan dan kesejahteraan.

Yang diragukan oleh ortu anda, mungkin masalah tirta dari Sanggah Pamerajan ketika upacaranya di Jakarta. Jika upacara di Jakarta sudah seperti diatas, atau mendekati seperti itu, sudah cukup. Nanti di Bali dibuatkan tataban di Sanggah pamerajan yang dinamakan upacara "mapinton" yaitu memperkenalkan dan melaporkan kelahiran si bayi kepada roh leluhur yang distanakan di Sanggah Pamerajan. Namun jika ortu berkeras juga mau mengadakan upacara tiga bulanan dan otonan, sebaiknya turuti saja, karena beliau mungkin ingin mencurahkan kasih sayangnya kepada cucunya. Nah dengan demikian anda kan juga berbhakti kepada ortu dan membuat beliau senang, asal saja biayanya terjangkau.

Demikian penjelasan saya,

Om santi, santi, santi, Om.

Dari sini
Read more ►

Minggu, 17 Oktober 2010

BABAD BALI

0 komentar
Jro Mangku Gde Ktut Soebandi
''Babad'' di Bali Kebanyakan Omong Kosong

BABAD merupakan historiografi tradisional. Sebagai sumber sejarah, babad tidak bisa diabaikan dalam penulisan sejarah lokal maupun nasional. Hampir semua etnis atau suku bangsa di Indonesia memiliki sejarah tradisional sejenis babad, misalnya di Jawa, Bali dan Lombok -- dari Babad Dalem, Babad Buleleng, Babad Blahbatuh, Babad Tanah Jawi, sampai Babad Lombok. Pengkajian bangsa Belanda terhadap babad, pada tahap awalnya hanya ditekankan pada telaah teks dari sudut filologi, dengan demikian babad dipandang sebagai bentuk sastra sejarah (Siti Baroroh Baried, dkk., 1994). Perhatian terhadap penerbitan naskah berupa babad telah mendapat perhatian yang cukup serius dari lembaga pernaskahan, Ecole Francaise d'extreme-Orient yang telah menerbitkan naskah-naskah babad seperti Babad Wilis (1980), Les Pande de Bali (1987) dan Babad Blambangan (1995). Penyalinan naskah babad di Bali merupakan tradisi masyarakat Bali dari generasi ke generasi. Walaupun begitu, sesuai teori sejarah, perjalanannya mengalami kontinuitas dan diskontinuitas, ada yang berlangsung sepanjang yang dikehendaki oleh pendukungnya, ada pula yang mengalami perubahan karena tidak sesuai dengan keadaan zaman. Lalu bagaimana dengan penulisan babad di masa kini serta apa fungsinya? Berikut wawancara Bali Post bersama pakar babad Jro Mangku Gde Ktut Soebandi. Wawancara ini juga disiarkan di Radio Global FM, Sabtu (18/1) kemarin.

SEJAK kapan Anda tertarik dengan babad?

Ketika saya sekolah di Bangli, raja Bangli Ida Anak Agung Ktut Ngurah membentuk semacam pesantian. Anggotanya antara lain Ida Pedanda Made Sidemen, Guru Ketut Sukrata, I Dewa Gede Tegeh, Ida Bagus Kaler, Ida Bagus Oka dan banyak lainnya mulai tahun 1938-1942. Setiap malam, terutama pada hari Sabtu makakawin kita lakukan hingga pukul 3 pagi. Hari biasa sampai pkl. 24. Yang ikut dalam acara itu bukan hanya dari Bangli walaupun transport sulit. Guru Sukrata adalah penilik sekolah dari Klungkung, ada pula yang berasal dari Singaraja. Kebetulan pada waktu beliau membaca lontar, banyak kata-kata sulit yang tidak dimengerti. Raja Bangli, Ida Anak Agung Ktut Ngurah punya empat buku yang berbahasa Belanda yang di dalamnya memakai bahasa Belanda, Melayu, Sansekerta dan Bali. Saya kebetulan ditugaskan oleh beliau untuk mencari kata-kata sulit ini. Itu saya lakukan hampir setiap hari dari sore hingga malam sampai saya payah.

Di samping itu, oleh raja saya ditugaskan untuk menyalin beberapa lontar yang dari tembaga, lontar ke buku. Saya waktu itu merasa kurang senang, maklum masih muda dan masih sekolah. Umur saya waktu itu sekitar 14 tahun. Akhirnya setiap kali menulis lontar dari tembaga ke buku, saya buatkan duplikatnya dengan memakai karbon. Nulis Bali memang sulit, apalagi tidak ada mesin ketik. Satu lontar saya kerjakan paling cepat tiga bulan. Awalnya memang saya kurang tertarik dengan bidang ini, namun ketika saya tua barulah tertarik. Saya dituduh oleh keluarga sebagai orang yang kurang aktif di bidang agama. Memang saya akui. Akhirnya, setelah saya tua, salinan lontar itu saya kumpulkan kembali dan saya ketik lagi dengan huruf Latin sebab kertas yang saya gunakan sudah rusak. Lalu saya susun sesuai dengan komposisinya semula, misalnya babad keluarga, sejarah pura, catatan upacara dan sebagainya.

Rupanya seperti peribahasa mengatakan, manusia boleh berbuat, Tuhanlah yang menentukan. Sehingga waktu alm. Tjokorda Rai Dherana (bupati Gianyar) menanyakan pada saya, kok aneh, Jro ini sekolah pertanian, jadi polisi, sekarang kok tertarik babad? Lalu saya katakan, itu begini Tjok, kalau itu dibicarakan alasannya selama 7 tahun pun tidak selesai. Yang pasti, manusia boleh berbuat, Tuhan yang menentukan. Sama halnya dengan mati hidup itu hanya Tuhan yang menentukan. Akhirnya memang banyak yang tertarik dengan babad, banyak yang menanyakannya. Sekarang pun saya aktif mengisi acara tentang babad di Radio Genta FM setiap Senin. Di harian Denpost juga saya mengasuh rubrik konsultasi.

Lantas, apakah sudah ada kaderisasi?

Saya pernah ditanya sama seorang dosen, sudah kaderisasi atau belum? Saya jawab, ini bukan seperti partai. Ini kehendak dari atas. Walaupun kita pelajari, namun jika dari atas tidak menghendaki, itu tidak mungkin. Kenyataannya, banyak dari beberapa pihak yang ikut penyuluhan, ada juga yang mempelajarinya tahunan, namun ia sendiri merasa jemu. Sebab tidak "masuk". Itulah sebabnya saya utarakan bahwa ini bukan seperti kaderisasi partai. Nantinya akan ada yang mewarisinya. Namun hingga sekarang saya belum temukan.

Apakah harus memiliki pengalaman religius magis untuk dapat mewarisi ilmu itu?

Saya tidak punya pengalaman itu. Kalau menyusun suatu naskah, saya tidak memakai konsep, langsung diketik. Akhirnya setelah saya dapatkan sekian halaman, kalau macet, saya berhenti. Oleh karena itu memang tidak bisa dipelajari karena merupakan petunjuk dari sana. Misalnya kalau ada orang yang berkonsultasi dengan saya, saya tidak mengambil cacatan, namun itulah peristiwa yang dialaminya. Caranya hanyalah menghubungi leluhur orang tersebut. Misalnya, ibu Megawati pernah mengirimkan utusannya ke mari.

Orang-orang kan sering riak jalan pikirannya, kalau sudah kaya sudah lupa. Tidak boleh begitu, sebab dalam hidup ini harus ada imbangannya. Ibarat kendaraan, ban keduanya harus pas. Walaupun mesinnya bagus dan baik, tapi kalau bannya kempes, maka mobil itu tidak mungkin jalan dengan baik. Nah, kita hidup di dunia ini kan banyak kesalahan. Maka saya anggap ini kredit poin. Dalam hidup ini saya anggap banyak salah, sehingga dengan memperdalam babad ini, para leluhur akan memberikan jalan yang lebih baik. Itulah sebabnya sering saya serukan, bagi mereka yang merasa bersalah, sebaiknya menyerah pada polisi. Kalau di dunia fana ini ada hari Nyepi, Natal, Idul Fitri atau tahun baru dapat pengurangan tahanan, namun di dunia sana saya belum pernah dengar pengurangan kesalahan itu -- di neraka maupun surga. Nah, daripada begitu, kan lebih baik di dunia fana ini kita menyerahkan diri jika ada kesalahan.

Anda tadi katakan pernah macet ketika menulis babad, lalu bagaimana?

Saya tunggu hingga inspirasi itu muncul. Makanya sering pkl. 3 pagi saya terbangun dan langsung mengetik. Pokoknya kalau ketemu begini, ya tulis. Makanya, kadang-kadang saya mengetik sepanjang hari sampai nggak mandi karena kebetulan dapat petunjuk. Karenanya, saya tidak pernah berani berjanji pada orang, kapan menyelesaikan penulisan babad itu.

Apakah babad berlaku hanya untuk orang Bali?

Bukan. Saya temukan di Jawa banyak babad, misalnya pelantikan Sri Sultan, pelantikan patih Gajah Mada, gempa bumi, jatuhnya kerajaan Majapahit, berdirinya kerajaan Panjalu, semuanya disebutkan dalam babad. Cuma persoalannya, babad di Bali lebih dikenal. Semua peristiwa harus ada babad. Itulah sebabnya dalam sarasehan Pesta Kesenian Bali (PKB) tahun 2000 saya diminta Gubernur untuk menjelaskan bahwa babad adalah sumber sejarah untuk mengenal jati diri yang sesungguhnya sebagai berkat bangsa. Kalau kita tidak tahu sejarah, lalu bagaimana?

Apa fungsi babad untuk keluarga?

Fungsinya jelas sekali. Sebab dalam babad itu ada prasasti dan prekempa rajapurana yang ada petunjuk dari leluhur. Di situ antara lain disebutkan, nantinya kalau kamu lupa lewat dari 10 odalan tidak menyembah kepada aku, mudah-mudahan hidupmu tidak menentu, banyak halangan. Ada begini, ada begitu. Sugih gawe kurang pangan. Bagaimana pun kayanya, apa pun jabatannya, saya buktikan. Baru-baru ini datang pejabat dari Jakarta yang masa kecilnya di Jawa, setelah berkonsultasi, ternyata leluhurnya dari Bali. Sekarang keturunan yang di Jawa agamanya Islam dan sudah tidak tahu kawitan-nya lagi. Tetapi bagaimana pun Islam tetap menyembah pada leluhur. Istri saya juga orang Jawa. Makanya setiap hari raya Idul Fitri, ia mengadakan syukuran atau nyekar ke kuburan. Kalau ini tidak dilaksanakan, terkutuk dia. Mantu saya yang Kristen juga membawa sodan ke kuburan orangtuanya berupa kopi, nasi, jajan dan sebagainya. Tujuannya untuk menghubungkan diri dengan leluhur. Orang Hindu ke merajan bawa canang untuk menghubungkan diri dengan leluhurnya. Oleh karenanya, masalah leluhur tidak bisa dikaitkan dengan agama apa pun. Misalnya, istri saya sudah berpindah agama ke Hindu, apakah ia tidak boleh menyembah leluhurnya? Kan keliru. Jadi bagi saya no problem, apa pun agamanya.

Dalam mempelajari babad harus ada studi banding, mengapa?

Ya, saya biasa begitu. Babad di Bali itu kebanyakan omong kosong. Kadang-kadang enggak benar karena dasar hukum di Bali adalah monopoli atau feodal/ fanatik, seolah-olah mereka lebih dari yang lain. Sesungguhnya mereka satu keturunan. Cuma karena gelarnya berbeda, ada Anak Agung, Gusti Agung, Gusti, Nanang, Wayan, seolah-olah mereka bukan satu keturunan. Yang kita cari sekarang adalah leluhur, bukan gelar. Oleh karena itu, di pura kawitan, merajan, pedarman, akan bertemu dengan orang-orang yang berbeda gelar, bukan berbeda leluhur.

Tetapi kita tahu kasta masih kuat di masyarakat, bagaimana?

Menurut Hindu tidak ada ajaran kasta. Yang disebut sudra adalah orang-orang yang tidak boleh potong gigi, tidak boleh potong rambut, tidak boleh sekolah. Tetapi lihat, sekarang di Unud, dosennya 1.600 tidak lebih dari 100 dosennya yang mengaku berkasta. Oleh karenanya di Bali tidak ada sudra, yang ada jaba atau di luar. Para sulinggih tinggal di griya, namun anaknya tidak boleh menyebut griya. Jangan pengertian itu atas dasar kepentingan kelompok, memang kita tahu mereka tidak mudah menyerah. Di Bali ada istilah cakraning gilingan atau berputarnya roda. Apakah ia tetap di atas? Apakah semua bupati keluarga raja?

* Pewawancara: Asti Musman
BIODATA
Nama Jro Mangku Gde Ktut Soebandi
Tempat/ tgl lahir Abangsongan, Kintamani, 1 Juni 1926
Nama istri Rohma
Nama anak

1. Made Susilawati
2. Komang Rai Sujaka, S.H.
3. Drs. Wayan Java Dwipa
4. Made Tri Juli Astuti
5. Nyoman Yani Sundari
6. Ketut Oka Janna Uttama, S.H.
7. Putu Gde Patra Tisna, S.H.

Pendidikan

* Vervolgschool (Sekolah Dasar)
* Landbouw School (Pertanian)
* Sekolah Komandan Polisi
* Sekolah Polisi Negara

Jabatan

* Kepala Cabang Mitsubitshi Kaisa (perusahaan penanaman kapas & rami).
* Polisi di Bangli
* Polisi di Kapeda Bali (Kepolisian Daerah Bali)
* Polisi di Kapekom (Kepolisian Komisariat Bali, kini Polda Nusa Tenggara)
* 1 Juli 1981, pensiun dengan pangkat Letnan Kolonel Polisi
Read more ►

Selasa, 12 Oktober 2010

Video Karya di telengan

3 komentar

Download here

Salah satu video upacara nyakup di desa telengan-karanganasem-bali yang bertepatan dengan upacara Karya Rsi gana lan ngubung pedagingan di Pura Tegallinggah-Telengan.Karya tersebut berpuncak tanggal 8 september 2010 (Budha cemeng kelawu,sasih ketiga) dan Upacara nyakup ini sendiri jatuh pada tanggal 5 September 2010 sebelum puncak Karya di Puput oleh Ida Pedanda Istri Jelantik(Ida pedanda Istri Nabe)Griya duda-karangasem.Mengenai biaya upakara/upacara tersebut dari hasil urunan per/kepala keluarga di kenakan Uang senilai Rp 2.500.000 dan punia baik berupa uang/benda Spt :Beras,Uang bolong,Emas,Dll.
Read more ►

Senin, 20 September 2010

Nyakup At telengan-Bali

0 komentar

photo by:Cenik





Upacara nyakup di perempatan Br.telengan,Ds.Gegelang,Kec.Manggis,Kab.karangasem-Bali yang bertepatan hari : minggu manis kelawu,Tanggal : 5 September 2010 Karena Puncak Karya Ngubung Pedagingan jatuh pada hari : Rabu wage kelawu,Tanggal 8 September 2010 Di pura Tegallinggah.Nyakup artinya Cakup(bahasa bali)atau Bersatu(bahasa indonesia)jadi Nyakup artinya :Mempersatukan Ida Betara Kabeh dalam wujud air/Tirta yang akan menyaksikan Upacara Ngubung Pedagingan di Pura Tegallinggah.Upakara ini di puput oleh : Ida Pedanda Istri Jelantik/Ida Pedanda Nabe,griya Duda-karangasem.
Read more ►

Selasa, 14 September 2010

Melaspas Dan Caru Rsi Gana

0 komentar

Bertepatan Rahina : Soma Wage Prangbakat,Sasih Karo.Tanggal : 09 Agustus 2010,Keluarga pasek Telengan Khususnya Dadia Pura Tegallinggah-Telengan/Kab.Karangasem.Menyelenggarakan Pemelaspas Pelinggih Dan Caru Rsi Gana Di Pura tegallinggah-Telengan,Guna untuk menyucikan Pura Karena akan diadakanya upacara Karya Ngubung Pedagingan Pada Hari Rabu wage/Budha Cemeng Kelawu,Sasih Ketiga yang akan datang.Melaspas Pelinggih dan Caru Rsi Gana ini di puput Oleh Ida Pedanda Gede Putu Ngenjung saking Griya Duda-Karangasem dan Ida Pedanda Budha sakinng Griya Taman Sari Budekeling-Karangasem.Serta di iringi oleh Sang Manggala Karya Dan Pengayah Di luar dadia,Diantaranya : I Md Darma Yasa (Klian Dusun Br.Telengan),I wayan Suita Ariana,I wayan Bandem SH,I Nyoman Degeng Spd,I Nyoman Sidemen,dan Banyak lagi yang tidak Bisa di sebutkan satu-persatu.Selain itu juga di iringi dengan Gamelan Gong,Kidung Warga sari,tari-tarian.

Klik disini Videonya

By : Cenik
Read more ►

Rabu, 01 September 2010

Ratu Pasek

0 komentar
Siapa yang dipuja atau distanakan pada suatu pelinggih atau parahyangan, tidak ada yang tahu secara pasti karena ini sangat erat kaitannya dengan keyakinan pemujanya. Namun setidak-tidaknya awal keberadaan suatu bangunan pelinggih tentu ada maksud dari yang membuat yang bisa merupakan tempat pemujaan Hyang Widhi, Bhatara Kawitan, atau orang suci yang telah berjasa pada jamannya.

Jika kita hadir ke Pura Dasar Bhuwana Gelgel, Klungkung, maka jika kita masuk ke utama mandala, maka setelah melewati gerbang dan belok kekiri, kita akan menjumpai pelinggih berupa Meru Tumpang Tiga yang merupakan tempat pemujaan Ratu Pasek. Juga jika kita hadir ke Pura Besakih dikomplek Parahyangan Leluhur, maka tepatnya di Pura Catur Lawa kita juga akan menjumpai pelinggih berupa Meru Tumpang Pitu yang juga tempat memuja Ratu Pasek. Lalu siapa Ratu Pasek ini?

Bangunan Meru Tumpang Tiga di Pura Dasar Bhuwana Gelgel adalah tempat memuja Mpu Ghana yang merupakan saudara ketiga dari Panca Tirta (Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, dan Mpu Bharadah). Mpu Ghana penganut aliran Ghanapatya, tiba di Bali pada hari Senin kliwon, wara kuningan tahun saka 922 (tahun 1000 Masehi). Beliau berparahyangan di Gelgel dan menjalani kehidupan Brahmacari (tidak kawin seumur hidup). Pada tahun saka 1198 (tahun 1267 Masehi) tempat ini oleh Mpu Dwijaksara (Leluhur Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel) dibangun sebuah pura yang disebut Babaturan Penganggih. Pada masa pemerintahan Dalem Gelgel Sri Smara Kepakisan yang dinobatkan tahun saka 1302 (tahun 1380 Masehi) pura ini ditingkatkan menjadi Pura Penyungsungan Jagat dengan nama Pura Dasar Bhuwana Gelgel. Di samping menjadi Pura Penyungsungan Jagat juga menjadi penyungsungan pusat 3 (tiga) warga, yaitu Warga Pasek, Warga Satrya Dalem, dan Warga Pande.

Pada masa pemerintahan Dalem Gelgel Sri Waturenggong tiba di Bali pada tahun saka 1411 (tahun 1489 Masehi) Danghyang Nirartha (Pedanda Sakti Wawu Rauh) dan setelah menjadi Purohita kerajaan Gelgel, kemudian di Pura Dasar Bhuwana Gelgel ditambah lagi satu pelinggih untuk Danghyang Nirartha dan keturunannya, sehingga pura itu menjadi pusat penyungsungan empat warga.

Bagaimana dengan Ratu Pasek yang di Besakih? Beliau adalah Mpu Semeru, yang kedua dari Panca Tirta. Beliau adalah pemeluk agama Siwa tiba di Bali pada hari Jum,at kliwon, wara pujut hari purnamaning sasih kawulu, tahun saka 921 (tahun 999 Masehi). Beliau berparahyangan di Besakih dan menjalani hidup brahmacari (tidak kawin seumur hidup), namun beliau mengangkat putra dharma dari penduduk Bali Mula, yang sesudah pudgala bergelar Mpu Kamareka atau Mpu Dryakah. Selanjutnya Mpu Dryakah ini menurunkan Warga Kayuselem (Kayu Selem, Celagi, Tarunyan, dan Kayuan). Di bekas parahyangan Mpu Semeru inilah sekarang berdiri Pura Ratu Pasek (Caturlawa Besakih).

Kalau kita sudah ketahui siapa yang dimaksud Ratu Pasek ini, maka seharusnya seluruh pratisantana Sang Panca Tirta seperti: Pasek, Ida Bagus, Anak Agung, I Gusti, Kayu Selem, dan lain-lain, wajib melakukan puja bakti di sini. Kenyataannya umat yang datang melakukan puja bakti kebanyakan adalah Semeton Pasek. Kenapa bisa begitu? Apakah karena disebut dengan Ratu Pasek, sehingga kesannya hanya untuk Semeton Pasek? Apakah mungkin diganti saja dengan nama beliau, yaitu Mpu Ghana dan Mpu Semeru?

Ada suatu kejadian terkait dengan hal di atas. Seorang kawan di Bali yang nama depannya “I Gusti” menyampaikan pada saya, bahwa ada larangan dari keluarganya untuk menyembah Pasek atau leluhur Pasek. Dia kemudian tertegun setelah saya katakan, bahwa leluhurnya beberapa tingkat dari garis perempuan (Pradana) bernama Ni Luh Pasek. Ada juga kawan saya yang kalau di Bali masih menyebut keluarga Brahmana mengatakan hal yang sama. Sayangnya saya belum sempat menyampaikan, bahwa salah seorang dari enam istri leluhurnya (Danghyang Nirartha) adalah keturunan Bendesa Mas yang adalah keturunan Pasek Gelgel. Pandangan seperti ini bukan hanya terjadi pada dua teman saya itu, tetapi sudah menjadi pendapat banyak orang khususnya di Bali, karena ketidak-tahuan mereka tentang keadaan yang sebenarnya.

Ini adalah keberhasilan politik masa lalu yang mengkotak-kotakkan manusia. Di samping itu banyak semeton Pasek di masa lalu yang tidak mau mengikuti jejak leluhurnya menjadi pemuka agama, dan mereka memilih menjadi petani bahkan menjadi abdi. Akibatnya cap Pasek dianggap rendah, dan akhirnya parhyangan Ratu Pasek pun seperti “dihindari” oleh sebagian orang.

Semeton Pasek banyak tangkil memuja Ratu Pasek karena secara kuantitas Semeton Pasek terbanyak di Bali. Jika saja orang Bali tetap bhakti kepada leluhurnya yang sejati, Ratu Pasek akan lebih banyak lagi dipuja umat, karena Beliau sejatinya adalah Panca Tirtha. Jadi bukan dihindari. Kini, pada saat bencana alam banyak terjadi di Negara kita seharusnya menyadarkan kita untuk lebih meningkatkan bhakti pada Hyang Widhi dan Bhatara Kawitan. Mintalah petunjuk pada Hyang Widhi, dan minta juga restu dari Ratu Pasek.

DAri : Pasek
Read more ►

Kamis, 26 Agustus 2010

Karangasem Minta Tambahan Sambungan Listrik

0 komentar
Amlapura

Masyarakat Karangasem tak hanya mengalami kekurangan air, tapi sebagian dari mereka rupanya masih belum terjangkau aliran listrik PLN. Dalam acara sosialiasi pemakaian lampu hemat energi di Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Pemberdayaan Masyarakat (KPM) Karangasem, Selasa (18/9) kemarin, sejumlah kadus minta PLN melakukan penambahan sambungan khusunya untuk warga yang berada di wilayah pedalaman.

‘’Saat ini masih banyak warga kami yang belum mendapat listrik. Kami kurang tahu apa masalahnya, yang jelas mereka sangat berharap PNL bersedia melayani mereka,’’ ungkap Kadus Telengan, Manggis, Made Darmayasa.

Yang membuat Darmayasa makin bingung lantaran proposal permohonan pemasangan sambungan baru sudah dilayangkan ke PLN. Tapi sejauh ini, menurut dia, proposal tersebut belum mendapat tanggapan. ‘’Jangankan kabel, tiangnya saja belum ada. Apa karena jaraknya yang jauh sehingga membuat PLN tak mau,’’ keluhnya.

Kepala PLN Area Pelayanan Klungkung yang juga membawahi Karangasem, Wayan Jaman Sutapa, S.E. berjanji menindaklanjuti harapan tersebut. Cuma pihaknya tidak mau memasang target kapan proposal warga akan dipenuhi.

Selain soal sambungan baru, sejumlah Kadus juga mempertanyakan buruknya kualitas listrik PLN. Kadus Wates Tengah, Selat, Komang Sujana, misalnya. Pihaknya mengeluhkan aliran listri ke rumah-rumah warga yang banyak dan sering menyala setengah lilin.

Sementara itu dalam sosialisasi kemarin, para kadus diharapkan bisa menjadi penyambung lidah PLN dalam mewujudkan program hemat listrik atau yang lebih dikenal dengan Program Banjar Galang Santhi. Karena, selain akan mampu menjaga kualitas daya listrik, hemat listrik berarti akan mengurangi beban biaya pemakaian rekening masyarakat. ‘’Minimal masyarakat mengurangi pemakaian listrik 50 watt ketika terjadi beban puncak antara pukul 18.00-22.00,’’ ungkap Jaman Sutapa.

Contributed by darma
Sep 18, 2007 at 05:34 AM
Read more ►

Rabu, 18 Agustus 2010

Trisandya

0 komentar
Marilah kita memuja Tuhan, Ida Hyang Widhi Waça
Pemujaan kepada Tuhan dapat dilaksanakan dengan banyak cara. Salah satu di antaranya ialah dengan bersembahyang tiap hari. Kita yang beragama Hindu bersembahyang tiga kali sehari, pagi, siang dan malam hari. Sembahyang demikian disebut sembahyang Trisandhya. Mantram yang dipakaipun disebut mantram Trisandhya.

Mantram ini ditulis dalam bahasa Sansekerta, bahasa orang Hindu jaman dahulu. Kita boleh bersembahyang dengan duduk bersila, duduk bersimpuh atau berdiri tegak sesuai dengan tempat yang tersedia. Sikap duduk bersila disebut padmasana. Sikap duduk bersimpuh disebut bajrasana dan yang berdiri disebut padasana.

Setelah sikap badan itu baik, dilanjutkan dengan pranayama. Pranayama artinya mengatur jalannya nafas. Gunanya: untuk menenangkan pikiran dan mendiamkan badan mengikuti jalannya pikiran, bila pikiran dan badan sudah tenang maka barulah mulai bersembahyang.
Sikap tangan waktu bersernbahyang disebut sikap amusti. Mata memandang ujung hidung dan pikiran ditujukan kepada Sanghyang Widhi. Dalam keadaan seperti itu, sabda, bayu, idep harus dalam keadaan seimbang.
Sebelum mengucapkan mantram, kedua tangan kita bersihkan dengan mantram demikian:

Mantran Trisandya
• Tangan Kanan
Om suddha mam svaha Artinya : Om bersihkanlah hamba
• Tangan Kiri
Om ati suddha mam svaha Artinya : Om lebih bersihkanlah hamba

1. Om bhur bhuvah svah
tat savitur varenyam
bhargo devasya dhimahi
dhiyo yo nah pracodayat
2. Om Narayana evedwam sarvam
yad bhutam yac ca bhavyam
niskalanko niranjano
nirvikalpo nirakhyatah
suddho deva eko
narayana na dvitiyo
asti kascit.
3. Om tvam siwah tvam mahadevah
Iswarah paramesvarah
brahma visnusca rudrasca
purusah parikirtitah
4. Om papo'ham papakarmaham
papatma papasambhavah
trahi mam pundarikaksa
sabahyabhyantarah sucih
5. Om ksamasva mam mahadeva
sarvaprani hitankara
mam moca sarva papebhyah
palayasva sada siva
6. Om ksantavyah kayiko dosah
ksantavyo. vaciko mama
ksantavyo manaso dosah
tat pramadat ksamasva mam
Om Santih, Santih, Santih Om.
Artinya :
• Om adalah bhur bhuvah svah
Kita memusatkan pikiran pada kecemerlangan dan kemuliaan Sanghyang Widhi, Semoga Ia berikan semangat pikiran kita
• Om Narayana adalah semua ini apa yang telah ada dan apa yang akan ada, bebas dari noda, bebas dari kotoran, bebas dari perubahan tak dapat digambarkan, sucilah dewa narayana, Ia hanya satu tidak ada yang kedua
• Om Engkau dipanggil Siwa, Mahadewa, Iswara, Parameswara, Brahma, Wisnu, Rudra, dan Purusa
• Om hamba ini papa, perbuatan hamba papa, diri hamba papa, kelahiran hamba papa, lindungilah hamba Sanghyang Widhi, sucikanlan jiwa dan raga hamba
• Om ampunilah hamba Sanghyang Widhi, yang memberikan keselamatan kepada semua makhluk, bebaskanlah hamba dari segala dosa, lindungilah oh Sang Hyang Widhi
• Om ampunilah dosa anggota badan hamba, ampunilah dosa perkataan hamba, ampunilah dosa pikiran hamba, ampunilah hamba dari kelalaian hamba.
Om. damai. damai, damai, Om.
18 Agustus 2010
By: Cenik
Read more ►

Tabuh Rah

0 komentar

  1. PENGERTIAN TABUH RAH.
    Tabuh rah adalah taburan darah binatang korban yang dilaksanakan dalam rangkaian upacara agama (yadnya).

  2. SUMBER PENGGUNAAN TABUH RAH.
    Sumber penggunaan tabuh rah terdapat pada Panca Yadnya.

  3. DASAR- DASAR PENGGUNAAN TABUH RAH.
    Dasar- dasar penggunaan tabuh rah tercantum di dalam :
    1. Prasasti Bali Kuna (Tambra prasasti).
      1. Prasasti Sukawana A l 804 Çaka.
      2. Prasasti Batur Abang A 933 Çaka.
      3. Prasasti Batuan 944 Çaka.
    2. Lontar- lontar antara lain :
      1. Siwatattwapurana.
      2. Yadnyaprakerti.

  4. FUNGSI TABUH RAH:
    Fungsi tabuh rah adalah runtutan/ rangkaian dan upacara/ upakara agama (Yadnya).

  5. WUJUD TABUH RAH:
    Tabuh Rah berwujud taburan darah binatang korban.

  6. SARANA :
    Jenis- jenis binatang yang dijadikan korban yaitu : ayam, babi, itik, kerbau, dan lain- lainnya.

  7. CARA PENABURAN DARAH
    Penaburan darah dilaksanakan dengan menyembelih, "perang satha " (telung perahatan) dilengkapi dengan adu- aduan : kemiri; telur; kelapa; andel- andel; beserta upakaranya

  8. PELAKSANAAN TABUH RAH:
    1. Diadakan pada tempat dan saat- saat upacara berlangsung oleh sang Yajamana.
    2. Pada waktu perang satha disertakan toh dedamping yang maknanya sebagai pernyataan atau perwujudan dari keikhlasan Sang Yajamana beryadnya, dan bukan bermotif judi.
    3. Lebih lanjut mengenai pelaksanaan tabuh rah

  9. Aduan ayam yang tidak memenuhi ketentuan- ketentuan tersebut di atas tidaklah perang satha dan bukan pula runtutan upacara Yadnya.

  10. Di dalam prasasti- prasasti disebutkan bahwa pelaksanaan tabuh rah tidak minta ijin kepada yang berwenang.

  11. Memperinci Pelaksanaan 'Tabuh Rah" dalam Bhuta Yadnya
  12. Tabuh Rah dilaksanakan dengan "penyambleh", disertai Upakara Yadnya.

  13. Tabuh Rah dalam bentuk "perang sata" adalah suatu dresta yang berlaku di masyarakat yang pelaksanaannya boleh diganti dengan "penyambleh".

  14. Apabila akan melakukan "perang sata", harus memenuhi syarat sebagai berikut :
    1. Upacara Bhuta Yadnya yang boleh disertai "perang sata" adalah :
      1. Caru Panca Kelud (Pancasanak madurgha).
      2. Caru Rsi Ghana.
      3. Caru Balik Sumpah.
      4. Tawur Agung.
      5. Tawur Labuh Gentuh.
      6. Tawur Pancawalikrama.
      7. Tawur Eka Dasa Rudra.
    2. Pelaksanaannya dilakukan di tempat upacara pada saat mengakhiri upacara itu.
    3. Diiringi dengan adu tingkih, adu pangi, adu taluh, adu kelapa, andel- andel serta upakaranya.
    4. Pelaksanaannya adalah sang Yajamana dengan berpakaian upacara.
    5. Perang sata maksimum dilakukan "tiga parahatan" (3 sehet) tidak disertai taruhan apapun.

  15. Selain dari yang tersebut dalam butir di atas adalah merupakan suatu penyimpangan.

  16. Lebih detail Klik disini
Read more ►

Jumat, 13 Agustus 2010

Kamis, 12 Agustus 2010

Topeng sidakarya

0 komentar
Topeng Sidakarya adalah bagian dari pementasan tari topeng yang mengiringi sebuah upacara besar di Bali. Topeng Sidakarya dianggap sebagai pelengkap upacara-upacara tersebut. Topeng ini tampil sebagai pamungkas tari persembahan (wewalen) sebelum acara pemujaan bersama yang dipimpin oleh Sulinggih dilakukan.

Pementasan Topeng Sidakarya ini bermula dari sebuah peristiwa menarik yang terjadi saat masyarakat Bali menggelar upacara besar di Pura Besakih pada zaman kekuasan Raja Dalem Waturenggong sekitar abad XV. Saat itu, datang seseorang dari Keling, mencari penanggungjawab upacara (Manggala Karya) tersebut yang tak bukan adalah sahabatnya.

Karena rupa dan penampilannya yang buruk, saat menanyakan keberadaan sang Sahabat, tamu Keling tersebut diusir oleh oarng-orang Besakih agar tak “mengotori” proses upacara. Tamu Keling itu murka dan melontarkan kutukan agar upacara tidak berjalan sukses.

Upacara besar itu pun gagal. Sang Manggala Karya menyesali tindakan orang-orang sekitarnya yang bertindak gegebah. Ia mencari sang tamu dan memintanya menyabut kutukan. Sebagai ungkapan penyesalan, Sang Manggala Karya memberikan sahabat Kelingnya itu tempat tinggal di desa Sidakarya (Denpasar Selatan). Dia kemudian dikenal dengan julukan Dalem Sidakarya.

Sejak saat itu, untuk kesuksesan penyelenggaraan ritual, pada setiap upacara besar di Bali, Dalem Sidakarya selalu dihadirkan dalam pementasan tari topeng. Atau, kehadirannya digantikan dengan tirta (air suci) yang diambil dari Pura Dalem Sidakarya yang terletak di Denpasar Selatan.
Read more ►

Kamis, 10 Juni 2010

 

Copyright © TELENGAN BALI Design by cenik85 | Blogger Theme by Nak Bali | Powered by Telengan Community