Rabu, 23 November 2011

Mengatasi Biaya Tinggi Upacara

1 komentar
Melaksanakan upacara Yadnya dewasa ini memerlukan biaya yang tinggi sedangkan keadaan perekonomian di Indonesia khususnya di Bali sulit akibat krisis moneter yang berkepanjangan. Di sisi lain umat Hindu berkewajiban melaksanakan Panca Yadnya.

Keadaan ini lebih dipersulit karena Tri Manggalaning Yadnya kurang mendalami Tattwa atau “Sastra Dresta”, dan sangat terpengaruh pada “gugon tuwon” atau “Kuna-Desa-Loka Dresta”.

Kadang-kadang ditemukan pula itikad yang kurang baik di kalangan Sang Sadaka dan Sang Widia yang menggunakan kesempatan kekurangtahuan Sang Yajamana untuk mengeruk keuntungan.

Dampaknya sebagian besar umat Hindu merasakan upacara sebagai beban yang berat. Jika ini berlangsung terus tidak mustahil terjadi dampak lanjutan di mana masyarakat:

Tidak melaksanakan upacara
Tertarik pada paham berbagai aliran Hindu yang lebih menekankan Tattwa dan Susila daripada Upacara
Berpindah ke agama lain yang dinilai ritualnya lebih sederhana

Pandita berpendapat kita semua umat Hindu agar menyadari “bahaya” dampak permasalahan itu dan segera memikirkan cara mengatasinya.Pandita mempunyai beberapa KIAT, yaitu:

1. Tri Manggalaning Yadnya agar menyadari apa yang dilakukannya adalah suatu pengorbanan mulia (subha karma) yang akan mendapat pahala baik, sehingga dalam berupacara dapat bersikap positif di bidangnya masing-masing:

SANG SADAKA kembali pada sasana kawikon sebagai pengayom umat, tidak henti-hentinya menyarankan pelaksanaan Yadnya yang sederhana, hemat, namun tetap berpegang pada Sastra Dresta; di samping itu tidak memberatkan umat misalnya secara tidak langsung atau tidak terang-terangan meminta sesari yang tinggi bagi “jasanya” muput karya.
SANG WIDIA tidak “menjual banten” dengan harga tinggi atau mengambil keuntungan yang berlipat dari harga pokok dan tidak menganjurkan penggunaan banten yang berlebih-lebihan.
SANG YAJAMANA atau yang punya hajat, tidak berniat jor-joran, atau demonstratif yang didasari pemahaman keliru akibat fanatisme “soroh”

2. Pada hakekatnya upacara-upacara Panca Yadnya dapat diselenggarakan secara massal. Sang Sadaka agar berani mengambil terobosan-terobosan menuju pelaksanaan upacara massal berdasarkan pengetahuan susastra yang dikuasainya.

Dengan melaksanakan upacara secara massal, biaya per orang dapat ditekan seminimal mungkin.

3. Dharma Wacana dan Dharma Tula yang bertujuan memperdalam pengetahuan mengenai Tattwa, Susila, dan Upacara lebih digiatkan agar dapat melaksanakannya secara berimbang. Banyak kalangan mengira upacara lebih penting dari yang lainnya.

4. Berangsur-angsur mengikis “gugon tuwon” yang tidak berdasarkan Sastra Dresta, karena tidak sedikit Kuna Dresta, Desa Dresta, dan Loka Dresta melambungkan biaya upacara.
Dalam kaitan ini ada beberapa contoh kejadian yang memberatkan Sang Yajamana, misalnya:

1. Ada Sang Sadaka yang:

Tidak menuruti Keputusan-Keputusan PHDI dan Keputusan Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu, antara lain dalam menangani kematian “salah pati”.
Tidak mau muput karya jika sang yajamana tidak nunas ayaban padanya.
Menunjuk tukang banten tertentu yang mudah “diatur” melambungkan biaya banten.
Membodohi sang yajamana antara lain mengatakan bahwa ketika masida karya setelah ngaben, sang yajamana harus “nebus” atman leluhurnya di pamerajan sang sadaka dengan uang sejumlah tertentu.
Tidak ingin jika sang yajamana tahu banyak mengenai tattwa agama.
Secara tidak langsung menetapkan tarif tinggi atas jasanya muput karya misalnya mengharuskan sarana mejauman dengan berbagai barang-barang mahal, atau melalui bisikan para pembantunya kepada sang yajamana.
Sumber nafkah bagi rumah tangganya tergantung dari sesari muput karya.

2. Ada Sang Widia yang:

Menghargai banten terlalu tinggi.
Tidak mau menyebarkan ilmunya kepada orang lain karena akan menumbuhkan saingan baru.
Berpedoman pada gugon tuwon yang menguntungkan profesinya.

3. Ada Sang Yajamana yang:

Fanatik menggunakan sadaka tertentu, walaupun jelas sang sadaka bertingkah macam-macam seperti nomor 1 di atas yang merugikan dirinya, padahal tidak ada satu pun sumber sastra yang mengharuskan sang yajamana menggunakan sadaka tertentu.
Demonstration effect, artinya berlaku boros demi kebanggaan semu atas soroh, status sosial, “kasta”, dan kekayaan.

Di masyarakat yang tingkat kesadarannya sudah baik, telah melaksanakan:

Upacara ngaben massal yang diprakarsai Banjar Adat.
Dharma Wacana dan Dharma Tula yang diprakarsai kelompok-kelompok Sadaka, dan PHDI.
Sikap kritis membahas srada melalui: sarasehan, seminar, diskusi terbuka yang dilaksanakan oleh Banjar Adat, Kampus, dan PHDI.
Penerbitan buku-buku dan media cetak Majalah/ Mingguan (Singaraja Pos, Majalah SARAD, dll) sebagai pencerahan srada.

Itulah beberapa kiat yang dapat memecahkan masalah yang dikemukakan di atas.


Dari : http://stitidharma.org/mengatasi-biaya-tinggi-upacara/
Read more ►

Selasa, 22 November 2011

Mantra Kramaning Sembah / Panca Sembah

13 komentar

(Panca Sembah)
1. Mantra untuk menghaturkan sembah puyung :

Om atmaa tattvaatmaa suddhamaam svaha

“Oh keseluruhan yang lengkap, atma, atmanya kehidupan ini bersihkan dan sucikan diri hamba”.
2. Mantra untuk menghormat pada Sang Hyang Surya, sebagai saksi abadi dalam kehidupan ini. Menyembah bhatara Surya juga berarti memuja kebesaran sinar suci Tuhan dalam aspek beliau sebagai sumber cahaya yang memberikan kehidupan di alam semesta ini. Dengan sarana bunga purih, dan mantra berikut:
Om Adityasyaaparam jyotir rakta teja
Namo stute, sveta pankaja madhyaastha
Bhaaskaraaya namo stute
“Oh keseluruhan yang lengkap, sinar Surya yang maha hebat, hormat padaMU, yang berada ditengah-tengah teratai putih, hormatku padaMU wahai pembuat sinar”.


3. Kemudian menyembah kebesaran Tuhan, sinar sucinya dalam aspek Ista Dewata. Ista Dewata adalah dewata yang khusus dipuja pada waktu tertentu dan dimohonkan kehadirannya oleh para bhakta. Bali yang lebih dikenal dengan Siddhanta Siwanya, tentu saja yang lebih menonjol adalah ista dewata dalam aspeknya sebagai Hyang Siwa, dengan mantra sebagai berikut:
Om Nama devaa adhisthanaaya
Sarva vyaapi vai sivaaya
Padmaasana ekapratisthaya
Ardhanaresvaryai namo namah
“Oh keseluruhan yang lengkap, kepada dewata yang bersemayam pada tempat yang tinggi, kepada Hyang Siwa yang sesungguhnya berada dimana-mana, kepada dewata yang bersemayam pada tempat duduk bunga teratai, hamba memuja-MU”.

4. Kemudian memuja kebesaran Ida Sang Hyang Widhi sebagai pemberi keselaamatan, kesejahteraan dan sebagai pemberi anugrah, dengan sarana kawangen :
Om anugraha manoharam
Devadattaanugrahakam
Arcanam sarvaapuujanam
Namah Sarvaanugrahakam
Deva devi mahaasiddhi
Yajnanga nirmalaatmaka
Laksmii siddhisca, diirgahaayu
Nirvighna sukha vrddhisca
“Oh keseluruhan yang lengkap dan sempurna, yang memberikan anugrah dan menarik hati, anugrah dari dewata yang agung puja semua pujaan. Hormat padaMU wahai pemberi anugrah. Dewa dan dewi yang selalu berhasil, berbadan yadnya, suci, panjang umur, dan bahagia tanpa halangan”.

5. Kemudian menghaturkan sembah puyung sekali lagi dengan mantra :
Om deva suuksma paramaacintyaaya nama svahaa
“Oh keseluruhan yang lengkap dan sempurna, hormat kepada-Mu wahai dewata yang maha gaib dn tak terlukiskan”.

6. Kemudian setelah melakukan kramaning sembah, dilanjutkan dengan nunas tirtha. Percikan tirtha tiga kali, minum tiga kali, dan raup wajah tiga kali. Gunanya adalah untuk menyucikan pikiran, perkataan dan perbuatan kita, sembari memohoh tirtha kehidupan kehadapan para dewata dengan menggunakan mantra:
Om ang Brahma amertha ya namah
Om ung Wishnu amrtha ya namah
Om mang Iswara amrtha ya namah

7. Setelah itu, minum tirtha tiga kali dengan mengucapkan doa :
Om sarira paripurna ya namah
Om ang ung mang sarira suddha pramatya ya namah
Om ung ang samo sampurna ya namah

8. Setelah minum tiga kali, dilanjutkan dengan membasuh muka sebanyak tiga kali, dengan doa :
Om Siwa sampurna ya namah
Om Sadasiwa paripurna ya namah
Om Paramasiwa suksma ya namah

9. Kemudian dilanjutkan dengan nunas bija, dan menggunakan doa :
Om Purnam bhawantu
Om ksama sampurna ya namah
Read more ►

Banten Untuk Upacara Mekingsan Di Gni

2 komentar
1. Nuwur tirta wangsuh-pada di Sanggah Pamerajan dan Kahyangan Tiga

Pejati

2. Ngulapin di Pura Dalem.

Pejati
Pengulapan/ Pengambean
Sodaan
Segehan

3. Mebersih/ Nyiramang.

Caru tedun sawa (eka-sata brunbun)
Pemelaspas pepaga, lante, dan pelengkungan
Beakala
Prayascita
Eteh-eteh peresikan dan pangelelet layon

4. Ngeseng di setra.

Pejati mapiuning di Mrajapati
Pejati mapiuning di ulun setra
Dius kamaligi: 2 set
Panjang ilang lebeng-matah: 2 set
Nasi angkeb, bubuh pitara, beras catur warna: 2 set
Daksina pengesengan
Segehan: 5 set
Tebasan lima: bebangkit, sekalang, sakedaton, taman, pregembal.
Pejati di Sanggar Surya dan arepan Sulinggih
Pasipatan
Soroan
Prayascita, durmenggala: 3 set
Pengulapan, pengambean
Beakala

5. Nganyut ke segara/segara

Pejati
Soroan
Pengulapan, pengambean
Segehan

6. Mereresik di rumah duka

Caru eka sata
Beakala, prayascita

DARI : http://stitidharma.org/upakara-banten-untuk-upacara-makingsan-di-gni/
Read more ►

UPACARA TUTUG KAMBUHAN

4 komentar
PENDAHULUAN

Upacara Tutug Kambuhan di tempat berbeda di Bali, disebut juga sebagai upacara: Kambuhan, Macolongan, dan Tutug Kakambuhan. Bermakna sama, sebagai suatu upacara yang dilakukan saat bayi berusia 42 hari (a-bulan pitung dina = 1 bulan 7 hari menurut perhitungan Kalender Bali).

Tujuannya adalah: membersihkan jiwa raga sang bayi dan ibunya dari segala noda dan kotoran, dan berterima kasih kepada “Nyama Bajang” si bayi atas bantuannya menjaga si bayi sewaktu masih dalam kandungan dan mohon agar mereka kembali ke tempat asalnya masing-masing.

Yang dimaksud dengan “Nyama Bajang” adalah kelompok kekuatan Ida Sanghyang Widhi Wasa yang membantu tugas-tugas “Kanda-Pat” menjaga dan memelihara si bayi sejak tumbuhnya benih, sampai kelahiran bayi. Setelah bayi lahir, tugas-tugas Nyama Bajang berakhir.

Nyama Bajang berjumlah 108, antar lain bernama: Bajang Colong, Bajang Bukal, Bajang Yeh, Bajang Tukad, Bajang Ambengan, Bajang Papah, Bajang Lengis, Bajang Dodot. Yang dimaksud dengan “Kanda-Pat” adalah: Ari-ari, Lamas, Getih, dan Yeh-Nyom.

Berbeda dengan Nyama Bajang, maka Kanda-Pat senantiasa menemani manusia sejak sebagai bayi dalam kandungan sampai manusia menjadi tua lalu meninggal dunia. Menurut lontar Tutur Panus Karma, nama Kanda-Pat dan Manusia berubah mengikuti usia sebagai berikut:

Manik (Embryo)/ segera jika Ibu tidak menstruasi:
Kanda-Pat: Karen – Bra – Angdian – Lembana.
Embryo: Lengprana

Usia kandungan 20 hari:
Kanda-Pat: Anta – Preta – Kala – Dengan
Bayi: Lilacita

Usia kandungan 40 minggu/ ketika bayi lahir:
Kanda-Pat: Ari-ari, Lamas, Getih, Yeh-Nyom
Bayi: I Pung

Usia 7 hari setelah kelahiran atau setelah tali pusar mengering dan putus (yang jadi pedoman adalah tali pusar putus):
Kanda-Pat: I Mekair, I Salabir, I Mokair, I Selair.
Bayi: Tutur Menget

Bila bayi sudah bisa menyebut “Babu” (kata ini senantiasa keluar dari bibir bayi sebagai pelajaran pertama berbicara secara alamiah):
Kanda-Pat: Sang Anggapati, Sang Prajapati, Sang Banaspati, Sang Banaspati Raja.
Bayi: I Jiwa

Bila manusia sudah remaja (usia 14 tahun untuk laki-laki, atau gadis menstruasi pertama)
Kanda-Pat: Sang Sida Sakti, Sang Sida Rasa, Sang Maskuina, Sang Aji Putra Petak.
Manusia: I Lisah

Bila manusia sudah tua (sudah bercucu/ melewati masa Griahasta):
Kanda-Pat: Sang Podgala, Sang Kroda, Sang Sari, Sang Yasren
Manusia: Sang Ramaranurasi

Bila manusia baru meninggal dunia/ segera setelah meninggal dunia:
Kanda-Pat: Sang Suratma, Sang Jogormanik, Sang Mahakala, Sang Dorakala
Atma: Sang Manjing. Atma yang belum suci tidak dapat bersatu dengan Brahman, oleh karenanya masih menempuh proses reinkarnasi.

Atma yang sudah suci, dapat bersatu dengan Brahman dan tidak mengalami proses reinkarnasi lagi, disebut: Ratnakusuma.
Kanda-Pat: Siwa, Sadasiwa, Paramasiwa, Suniasiwa

Sebagaimana diuraikan di atas, upacara Tutug-Kambuhan selain bertujuan untuk berterima kasih kepada Nyama Bajang, dan Kanda-Pat, juga bertujuan membersihkan jiwa raga si bayi dan ibunya dari segala kotoran.

Pembersihan si bayi baru pembersihan tahap pertama, karena pembersihan tahap berikutnya dilakukan pada upacara tiga bulanan. Rambut si bayi misalnya, yang dipandang “kotor” karena terbawa sejak lahir, baru dipotong pada saat upacara tiga bulanan.

Dikatakan sebagai pembersihan raga bagi si bayi, karena pada usia 42 hari tali pusar sudah putus, lapisan kulit yang paling tipis sudah berganti, peredaran darah dan konsumsi makanan sudah lancar sehingga keringat, air mata, ludah, kencing, dan kotoran sudah keluar. Pembersihan raga ibu ditandai oleh terhentinya aliran kotoran dari rahim.

Upacara ini merupakan tonggak/ batas waktu bagi kebersihan jiwa si bayi dan ibunya yang biasa disebut “lepas sesebelan/ cuntaka”. Sejak saat ini si bayi dan ibunya boleh masuk ke Pemerajan/Pura dengan catatan ibu dilarang menyusui anak di dalam Pemerajan/ Pura karena air susu yang menetes membawa “keletehan” tempat suci.

Bagi sang ayah, tonggak/ batas waktu cuntaka adalah ketika si bayi putus tali pusarnya. Pada saat itu ayah natab bea kala dan ngayab prayascita.

Melihat sedemikian banyaknya manfaat yang diperoleh, maka upacara Tutug Kambuhan ini sangat penting untuk dilaksanakan tepat pada waktunya.

Dalam keadaan apa pun upacara ini diusahakan terlaksana, walaupun sangat sederhana. Misalnya, dalam satu rumah ada halangan kematian, maka upacara tutug kambuhan dilaksanakan di tempat saudara yang lain (tidak sehalaman dengan rumah duka).

SUSUNAN UPACARA

Di Pemerajan:
Sulinggih melaksanakan Surya Sewana/Ngarga tirta.
Mepiuning serta mohon restu akan melaksanakan upacara
Nuwur tirta: bea kala, pelukatan, pebersihan, prayascita.
Di luar Pemerajan:
Me-bea kala (ayah dan ibu)
Me-prayascita (ayah, ibu, bayi)
Di dapur dan permandian:
Pelukatan Bethara Brahma dan Wisnu (ayah, ibu, bayi)
Di depan Sanggah Kemulan:
Pelukatan Bethara Hyang Guru (ayah, ibu, bayi)
Bajang colong (nyama bajang)
Natab/ ngayab (ayah, ibu, bayi)
Di pelangkiran (di atas tempat tidur bayi):
Mepiuning
Di tempat menanam ari-ari:
Mepiuning
Di Pemerajan:
Pemuspaan (segenap keluarga dekat)
Nunas wangsuh pada (segenap keluarga dekat)

BANTEN YANG DISIAPKAN

1. Di Pemerajan:

Tegteg daksina (pejati)
Peras
Ajengan dan penyacak.
Segehan Manca Warna

2. Di luar Pemerajan:

Bea kala
Tadah kala
Sapuh Lara
Tulud Lara
Lara Meraradan
Isuh-isuh
Prayascita
Segehan Manca Warna

3. Di dapur dan permandian:

Peras dengan tumpeng merah (didapur) atau tumpeng hitam (dipermandian)
Daging ayam biing (didapur) atau ayam hitam (dipermandian)
Ajuman
Daksina
Pengulapan/ pengambean
Penyeneng
Sorohan alit
Periuk kecil berisi air dan bunga, untuk pelukatan
Segehan Manca Warna

4. Di depan Sanggah Kemulan:

Pasuwugan: peras, ajuman, daksina, suci, sorohan alit, penglukatan, pengambean, penyeneng, nasi 6 ceper masing-masing dengan lauk: ayam, itik, telur, siput, babi, dan kacang-kacangan dan “kungkang” (bokor berisi: beras, sirih, benang, telur ayam mentah, uang kepeng 25, nasi dan lauk sate)
Perwujudan Nyama Bajang: periuk tanah berkain putih dan mekampuh tapis, pusuh biyu kayu berkain putih dan berisi uang 3 kepeng, papah berkain putih digantungi ketipat, belayag kosong, dan gantung-gantungan. Semuanya metapak dara kapur sirih. Penjor kecil dari pelepah daun enau, lidinya ditusuki bunga kembang sepatu. Bantennya: penek kecil beralas ceper, berisi: jajan, buah-buahan, canang burat wangi.
Bajang colong: peras, tulung, sesayut/ sorohan alit, 4 buah ceper berisi: 2 buah tumpeng kecil, jajan, buah-buahan, canang burat wangi, sampian tangga, tiap-tiap ceper dengan lauk yang berbeda: guling katak, guling capung, guling balang, dan guling pitik.
Tegen-tegenan kecil (tanpa ayam dan itik)
Segehan Manca Warna

5. Di pelangkiran (di atas tempat tidur bayi):

Banten Kumara: canang genten, burat wangi, canang sari.

6. Di tempat menanam ari-ari:

Dapetan (di sanggah cucuk)
Segehan Manca Warna (di tanah)

Dari : http://stitidharma.org/upacara-tutug-kambuhan/
Read more ►

Sabtu, 05 November 2011

Ngusaba tahun 2011

0 komentar

Rutinitas masyarakat dari segala lapisan seluruh desa antiga dan gegelang melaksananakan pengusabayan ring purnamaning sasih kelima yang bertepatan,tanggal 10 nopember 2011.Namun sebelumnya Ida Ratu Bethara kabeh katuran melasti ke pantai/segara toye betel,dimana tempat tersebut berada didaerah padang bay atau lebih tepatnya desa mimba.antusias masyarakat mengusung/ngaturin ida bethara kabeh tedun katuran melasti dari banjar telengan sampai banjar pengalon sampai ke mimba (seputaran padang bay) dan kembali melinggih di stana Ida soang-soang.Pengiring start dari banjar telengan jam 7:00 wita dengan disusulnya pengiring dari gegelang,pakel,babakan dan antiga.tanpa mengenal lelah dipanasnya terik matahari serta panasnya pasir-pasir pantai disiang hari dengan semangat agar Ida Bethara sampai tujuan melasti dan kembali berstana.jarak yang ditempuh kira-kira 18KM dari telengan,tiu memakan waktu sekiranya sampai jam 18:00 wita.
Berselang 3 (tiga) harinya dilanjutkan pengusabayan di Pura LUHUR PUCAK SARI BUKIT CEMENG,dimana pura ini bertempat dibarat laut dari banjar telengan seikranya 3,5KM jarak tempuhnya,dengan posisi pura tepat berada diujung perbukitan dan para pemedek bisa minikmati pemandangan kecamatan manggis dari atas perbukitan serta angin laut yang begitu menyejukan jiwa,bukan hanya itu saja disisi utara juga kelihatan pemandangan kecamatan selat,disisi barat juga kelihatan pemandangan yang tidak kalah menariknya yaitu kecamatan sidemen,gunung agung yg begitu nampak jelas berada didepan mata.Pokoknya alamnya nampak asri apalagi mata air mengalir dimana-mana,pepohonann besar-besar menghiasi jalanan serasa berada dalam hutan yang begitu bersih,tak kalah pentingnya keesokan harinya anak-anak biasanya berharap jalanan basah dikarenan hujan dengna semangat mereka bermain lumpur dijalan serta membuat licin dimana-mana hingga pemedek yang belakangan berjatuhan dan nampak lumpur dipantat mereka (tentunya jatuhnya tidah separah yang anda pikirkan he he he)
Hingga menunggu hari ke (3)ketiganya lagi,ngusaba desa dimana pura ini sudah letaknya didesa/Pura PUSEH TELENGAN yang tentunya para pemedeknya tidak kalah rame dari yang sudah lewat,hingga malam masyarakat ngaturan ayah ring pura tersebut menyambut pengusabayan yang jatuhnya setahun sekali,para pemuda juga ikut serta meramaikan,para masyarakat yang berada diluar daerah juga berbondong-bondong pulang serasa kampung penuh dengan orang-orang asli telengan,jalanan dari utara telengan hingga antiga pada rame penduduk seolah-olah sarang semut yang kepenuhan penghuni.biasanya penyambutan ini juga dimeriahkan berbagai acara/hiburan dimalam harinya.
Selanjutnya 3 hari kemudian,pengusabayan diPura Puseh pakel dimana pura puseh ini masih berletak dikedesaan gegelang,tak kalah rame pula para pemedeknya meramaikan pengusabayan ini,Upacara ini berturut-turut 11 hari setiap tahunya mulai dari melasti sampai nyineb Ida Bethara di pura puseh pakel.
Read more ►
 

Copyright © TELENGAN BALI Design by cenik85 | Blogger Theme by Nak Bali | Powered by Telengan Community